Bengkalis, Garda45.com – Aroma penyimpangan kembali tercium dalam proyek infrastruktur di Kabupaten Bengkalis. Sejumlah proyek normalisasi sungai di bawah Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Bengkalis diduga kuat menggunakan BBM solar bersubsidi untuk mengoperasikan alat berat Excavator, padahal dana proyek bersumber dari APBD yang seharusnya memakai BBM industri non-subsidi.
Informasi dugaan pelanggaran ini mencuat setelah warga memergoki aktivitas pengisian bahan bakar menggunakan jerigen tidak resmi di beberapa lokasi proyek. Praktik tersebut memicu dugaan bahwa solar yang digunakan bukan dari jalur industri resmi Pertamina.
“Setiap hari kami lihat mereka isi bahan bakar pakai jerigen. Tidak seperti proyek pemerintah biasanya,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan, Senin (28/10/2025).
Ketika dikonfirmasi, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek, Agus Sukri, justru memberikan jawaban yang semakin menimbulkan tanda tanya. Berikut kutipan percakapan via WhatsApp:
Awak media: “Infonya bukan minyak industri yang dipakai ya, Pak?”
Agus Sukri: “Bukan do, Pak.”
Awak media: “Jadi minyak apa yang dipakai?”
Agus Sukri: “Minyak non-subsidi.”
Namun saat diminta menjelaskan harga solar industri, Agus justru mengaku tidak tahu, bahkan setelah dijelaskan bahwa harga solar industri mencapai sekitar Rp21.000 per liter.
“Katanya orang kerja tu pakai minyak non-subsidi. Kalau pun mereka pakai minyak subsidi, berarti orang tu yang main curang,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Pernyataan itu memperkuat indikasi lemahnya pengawasan dan kontrol internal di tubuh Dinas PUPR Bengkalis. Sebagai PPTK yang menandatangani dokumen pembayaran proyek bernilai ratusan juta rupiah, ketidaktahuan soal jenis dan harga BBM industri dianggap mengkhawatirkan dan mencerminkan minimnya profesionalitas teknis.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kegiatan non-komersial. Proyek pemerintah yang didanai APBN atau APBD wajib menggunakan BBM industri non-subsidi dari penyalur resmi Pertamina.
Dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB), biaya penggunaan solar industri sudah termasuk dalam perhitungan dasar. Maka, penggunaan solar subsidi bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara.
“Jika benar proyek pemerintah menggunakan solar subsidi, itu pelanggaran berat dan termasuk penyalahgunaan BBM. Kontraktor maupun pejabat yang lalai bisa dijerat UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas,” tegasnya.
Ketua DPD LSM GERAK Riau, Emos Gea, mendesak Inspektorat Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun ke lapangan.
“Kalau benar ada penggunaan solar subsidi, berarti dua pelanggaran sekaligus, penyalahgunaan anggaran dan penyalahgunaan energi. Tapi kalau tidak terbukti, pemerintah wajib buka data agar isu ini tidak berkembang jadi fitnah publik,” ujarnya.
Emos juga mendorong BPK Perwakilan Riau untuk mengaudit seluruh proyek normalisasi di Bengkalis, khususnya bukti pembelian solar industri.
“Kalau memang pakai solar industri, tunjukkan buktinya – nota, faktur, atau dokumen resmi dari Pertamina,” tambahnya, Sabtu (1/11/2025).
Proyek normalisasi yang disorot mencakup 17 paket pekerjaan di Pulau Bengkalis, dengan nilai kontrak rata-rata Rp199 juta per paket, seluruhnya di bawah Bidang SDA Dinas PUPR Bengkalis. Menurut Agus Sukri, sebagian proyek telah selesai, sebagian masih berjalan, dan sebagian lagi belum dikerjakan.
Kasus ini kini menjadi ujian transparansi dan integritas Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Publik menunggu: apakah pemerintah akan membuka audit dan penyelidikan hukum secara terbuka, atau membiarkan dugaan penyimpangan ini tenggelam bersama lumpur proyek normalisasi yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat.**






Komentar