Nasional

KPK Jerat Gubernur Riau, Babak Baru Skandal Korupsi Proyek Publik

30
×

KPK Jerat Gubernur Riau, Babak Baru Skandal Korupsi Proyek Publik

Sebarkan artikel ini
Teks foto: KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid dan dua pejabat lainnya sebagai tersangka kasus korupsi proyek publik, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025). /G45

Jakarta, Garda45.com – Hujan tipis turun di atas Jakarta ketika satu lagi bab dalam sejarah panjang korupsi kekuasaan di Indonesia dibuka. Di balik kaca dingin Gedung Merah Putih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan keputusan yang mengguncang Riau, yang selama ini dikenal kaya, tapi berkali-kali terjerat skandal.

Gubernur Riau Abdul Wahid, sosok yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin muda dengan citra bersih, kini resmi menjadi tersangka kasus korupsi proyek publik. Di hadapan sorot kamera dan tatapan publik yang letih oleh pengkhianatan integritas, nama Wahid bergema di ruang konferensi pers, sebuah ironi di tanah yang selama puluhan tahun menjadi ladang subur, bukan hanya bagi minyak dan sawit, tapi juga bagi praktik gelap kekuasaan.

“KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu AW (Abdul Wahid), M. Arief Setiawan, dan Dani M. Nursalam,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, suaranya datar tapi menyimpan bobot peringatan. Pengumuman itu menutup dua hari penyelidikan intensif setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung di Riau awal pekan ini.

Operasi senyap itu, pada Senin (3/11), menjerat sepuluh orang termasuk sang gubernur. Langkah cepat yang bagi sebagian orang adalah harapan, namun bagi sebagian lain adalah bukti bahwa korupsi di negeri ini bukan penyakit yang kambuh melainkan luka yang tak pernah sembuh.

Dua hari kemudian, publik menyaksikan potret yang telah menjadi ritual pahit bangsa ini: seorang pejabat tinggi digiring keluar dari ruang pemeriksaan, mengenakan rompi oranye bertuliskan “Tahanan KPK.”

Abdul Wahid, wajahnya tegang namun berusaha tetap tenang, melangkah menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rutan ACLC KPK, tempat ia akan menjalani masa penahanan awal selama 20 hari, sejak 4 hingga 23 November 2025.

Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kini menambah daftar panjang pejabat Riau yang tumbang karena godaan proyek publik. Di provinsi yang kaya minyak, gas, dan hasil bumi ini, relasi antara politik dan uang seperti dua sisi koin yang tak pernah terpisah.

Menurut penyidik, Abdul Wahid diduga mengatur skema pemerasan dan gratifikasi dalam proyek strategis Dinas PUPR PKPP Riau. Kontraktor yang ingin proyek berjalan lancar diwajibkan menyerahkan “fee proyek” yang kemudian mengalir ke lingkaran kekuasaan.

Dalam operasi itu, KPK menyita uang tunai sekitar Rp1,6 miliar, terdiri dari rupiah, dolar, dan pound sterling—angka yang mungkin kecil di atas kertas, tapi cukup untuk menyingkap struktur ekonomi gelap yang menggerogoti kebijakan publik.

“Kami masih menelusuri aliran dana dan peran pihak lain. Tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru,” kata Tanak, tegas namun terkendali.

Kasus Abdul Wahid menegaskan kembali betapa rapuhnya sistem tata kelola daerah di Indonesia. Ia bukan hanya kisah individu yang jatuh karena keserakahan, tetapi juga cerminan betapa sistem pengadaan proyek publik masih menjadi ruang kompromi antara kekuasaan dan modal.

Riau sendiri, dalam dua dekade terakhir, telah menjadi cermin paradoks Indonesia modern kaya sumber daya, namun miskin keadilan struktural. Di tanah yang semestinya makmur, integritas justru menjadi barang langka.

Bagi KPK, penetapan ini bukan sekadar penegakan hukum, tapi juga pertarungan eksistensial. Setelah berbagai revisi undang-undang yang sempat menumpulkan taringnya, lembaga ini kini berusaha membuktikan bahwa ia masih mampu berdiri di garis depan melawan korupsi yang kian sistemik.

Dan bagi publik, peristiwa ini adalah pengingat getir: di balik setiap proyek pembangunan, di balik baliho dengan wajah tersenyum dan janji kemajuan, sering tersembunyi permainan uang yang sunyi namun mematikan, perlahan menggerogoti kepercayaan rakyat pada pemerintahan yang seharusnya mereka miliki.**

Comment