Ekonomi

Bukan Salmon! Riset BRIN: Ikan Sidat Punya Omega-3 Tertinggi – Tapi Populasinya Terancam

11
×

Bukan Salmon! Riset BRIN: Ikan Sidat Punya Omega-3 Tertinggi – Tapi Populasinya Terancam

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Ikan Sidat. (G45/Net).

PEKANBARU | Garda45.com – Masyarakat yang selama ini mengira salmon sebagai sumber ikan dengan omega-3 (DHA dan EPA) tertinggi harus merubah pandangan. Hasil riset terbaru dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa ikan sidat adalah yang sebenarnya menduduki posisi teratas.

“Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi,” ungkap Peneliti Ahli Utama BRIN, Gadis Sri Haryani, dalam keterangan tertulis dikutip Kamis.

Di antara salmon, sidat, dan gabus, sidat terbukti memiliki kandungan omega-3 paling banyak, selain kaya vitamin A, B kompleks, zat besi, protein, kalori, dan fosfor. DHA berperan penting untuk perkembangan otak, sedangkan EPA membantu mengurangi peradangan dan menjaga kesehatan jantung.

Potensi ekonomi dan nilai gizi tinggi menjadikan sidat sebagai sumber daya perikanan strategis Indonesia. Namun, populasinya terancam karena siklus hidup katadromus yang unik dan rumit – menetas di laut dalam, bermigrasi ke estuari, lalu ke air tawar – yang membuatnya rentan terhadap ancaman ekologis.

Tantangan utama saat ini adalah tingginya permintaan pasar dan tekanan penangkapan glass eel (sidat kaca) di alam liar, serta perubahan lingkungan muara yang mengganggu migrasi. Hal ini menyebabkan pasokan tidak stabil dan harga fluktuatif, bahkan terkadang glass eel tidak terserap karena kapasitas hatchery terbatas.

Untuk melindunginya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan kebijakan pembatasan kuota penangkapan glass eel dan ukuran minimal ekspor 150 gram per ekor. Namun, efektivitas kebijakan ini masih terhalang oleh keterbatasan kapasitas pembesaran, ketergantungan pakan impor, dan lemahnya pengawasan.

Gadis menegaskan bahwa tata kelola ekologi berbasis bukti ilmiah harus menjadi fondasi hilirisasi industri sidat, termasuk implementasi rencana aksi nasional dan perlindungan ekosistem perairan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *