Peristiwa

Laut Memanggil, Tapi Solar Tak Datang: Nelayan Bantan Terkurung Satu Laporan

13
×

Laut Memanggil, Tapi Solar Tak Datang: Nelayan Bantan Terkurung Satu Laporan

Sebarkan artikel ini
Teks foto: Ramli Erliyas, akrab disapa Pit, dari Kelompok Nelayan Desa Muntai terlihat duduk bersama nelayan dari berbagai desa. Mereka menanti di sekitar tangki penyimpanan SPBUN KPPM, menunggu sesuatu yang tidak pernah mereka sangka akan hilang: kepastian pasokan solar untuk kembali melaut. Jum'at, (21/11/2025)G45/Ivan

Bantan, Garda45.com – Di pesisir Bantan, biasanya pagi dimulai dengan suara mesin perahu yang meraung pelan sebelum menyusuri laut. Namun beberapa hari terakhir, deru itu lenyap seketika.

Dermaga yang biasanya ramai mendadak sunyi, dan nelayan yang biasa bergegas ke laut kini hanya menatap perahu yang tak bisa bergerak.

Bukan karena cuaca buruk. Bukan karena kerusakan alat. Melainkan karena solar subsidi berhenti masuk.

Dan semua itu dipicu oleh satu laporan tunggal dari seorang nelayan Teluk Lancar terhadap ketua Koperasi Perikanan Pantai Madani (KPPM), yang langsung menghambat suplai ke SPBUN.

Laporan yang bagi sebagian besar nelayan justru tidak pernah mereka alami dampaknya. “Satu laporan, tapi sembilan desa ikut disiksa.”

Bagi masyarakat pesisir, solar bukan komoditas biasa. Ia adalah nadi yang menggerakkan perahu, rezeki, dan dapur rumah. Maka ketika distribusi terhenti, keresahan menjalar lebih cepat dari angin laut.

Para nelayan dari sembilan desa sepakat, persoalan ini bukan hanya mengganggu kerja mereka, tetapi memukul kehidupan seluruh keluarga.

Di teras rumahnya yang menghadap laut, Ilyas dari Pambang Pesisir menunjukkan catatan penyukatan yang ia simpan rapi. Tuduhan tentang takaran solar yang kurang, menurutnya, tidak hanya keliru, tetapi menyesatkan.

“195 liter di pompa. Saat kami sukat ulang, malah lebih 201 liter,” ujarnya. “Dari dulu kami justru sering dapat lebih. Koperasi rugi, tapi kami tidak pernah dirugikan.”

Penjelasan Ilyas ini bukan kasus tunggal. Puluhan nelayan memberikan keterangan serupa. Bahkan mereka menantang, kalau pun ada pungutan Rp400 ribu seperti yang dituduhkan, tentu mereka akan bersuara dari dulu. “Tapi tidak pernah ada. Itu fitnah,” tegas mereka bersama-sama di SPBUN, Jum’at, 21/11/2025.

Di titik lain, Ramli Erliyas, dikenal sebagai Pit, juga angkat suara. Duduk di dekat tangki SPBUN yang kini tak aktif, ia menyampaikan bahwa mekanisme pembagian solar sudah berlangsung transparan bertahun-tahun.

Kapal besar mendapat 800–1.000 liter per bulan. Kapal kecil mendapat sesuai proporsinya.
Semuanya jelas. Semuanya terbuka.

“Kalau dari dulu ada yang kurang, kami protes. Tapi tidak pernah terjadi,” ujarnya.

Baginya, masalah sebenarnya bukanlah laporan itu sendiri, tetapi efeknya yang langsung mematikan aktivitas nelayan.

“Kami ingin solar kembali. Perahu kami tak bergerak, dapur kami mati. Anak kami sekolah. Semua terhenti.”

Ketika ritme ombak berhenti mengikuti nafkah nelayan

Pesisir Bantan hidup dari laut. Namun hari-hari ini, laut hanya menjadi pemandangan yang menambah sesak dada. Jaring digantung, mesin dingin, dan keluarga nelayan mulai menghitung sisa tabungan.

Semua karena sebuah laporan yang mayoritas nelayan merasa tidak mencerminkan kenyataan.

“Kami tidak pernah dirugikan oleh KPPM,” kata Pit menutup pembicaraan. “Yang merugikan justru laporan itu, karena membuat seluruh desa terhenti.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *