Ekonomi

Kisruh Solar Bersubsidi di Pesisir: Laporan Satu Nelayan, Dampaknya Mengguncang 102 Kelompok dari 9 Desa

8
×

Kisruh Solar Bersubsidi di Pesisir: Laporan Satu Nelayan, Dampaknya Mengguncang 102 Kelompok dari 9 Desa

Sebarkan artikel ini
Teks foto: Sebanyak 102 kelompok nelayan dari sembilan desa di Kecamatan Bantan memberikan keterangan kepada wartawan di area SPBUN KPPM Pambang Pesisir. Foto diambil pada Jumat (21/11/2025)/G45/Ivan.

Bengkalis, Garda45.com – Di pesisir Bantan, sebuah laporan tunggal mendadak berkembang menjadi polemik besar yang mengguncang kehidupan ratusan keluarga nelayan.

Tuduhan pemotongan solar subsidi yang diarahkan kepada Sahak, Ketua Koperasi Perikanan Pantai Madani (KPPM), bukan hanya menimbulkan kegaduhan, tetapi juga menghambat aliran BBM bersubsidi yang selama ini menjadi penopang utama nelayan untuk melaut.

Ketegangan justru memuncak ketika sebanyak 102 kelompok nelayan dari sembilan desa menyatakan bahwa laporan dugaan penyimpangan yang diajukan ke polisi tidak mencerminkan kondisi di lapangan dan merugikan banyak pihak.

Nelayan menegaskan, yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar nama Sahak, tetapi akses ribuan keluarga pesisir terhadap BBM bersubsidi sumber hidup mereka sehari-hari. “Ini bukan soal satu orang. Ini soal hidup kami,” ujar seorang nelayan.

Selama lima tahun memimpin penyaluran solar di SPBUN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan) KPPM Pambang Pesisir, Sahak disebut telah menjalankan distribusi secara tertib, terdata, dan khusus untuk kelompok nelayan resmi.

Namun keadaan berubah ketika seorang nelayan dari Teluk Lancar melaporkan adanya dugaan pemotongan satu liter solar setiap pengisian. Tuduhan tersebut langsung memicu ketegangan horizontal di tengah komunitas nelayan.

Para ketua kelompok dan anggota nelayan memberikan respons keras. Mereka menilai laporan itu keliru dan justru menghambat pasokan BBM yang sangat mereka butuhkan.

“Laporan itu bikin solar terhambat. Kami yang rugi. Tak pernah ada pemotongan selama ini,” ujar seorang nelayan pada Minggu (23/11/2025).

Suara paling tegas datang dari Amri, nelayan Teluk Lancar sekaligus adik kandung pelapor. Ia menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

“Kami ini keluarga, tapi yang disampaikan dia tidak benar. Tidak ada pungli, tidak ada potongan. Solar selama ini membantu kami bertahan,” tegasnya.

Amri menjelaskan, akibat laporan itu, distribusi solar sempat tersendat, memaksa nelayan membeli BBM di luar dengan harga mencapai Rp12.000 per liter.

“Kadang kami hanya dapat satu jeriken. Sangat berat bagi kami yang hidup dari laut,” tambahnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *