Nasional

Fenomena Fatherless Mengkhawatirkan, 25,8 Persen Anak Tumbuh Tanpa Kehangatan Ayah

5
×

Fenomena Fatherless Mengkhawatirkan, 25,8 Persen Anak Tumbuh Tanpa Kehangatan Ayah

Sebarkan artikel ini
Kepala BKKBN Dr. Wihaji menyampaikan paparan terkait fenomena fatherless dalam konferensi pers di Jakarta. (G45/net). 

JAKARTA | Garda45.com – Fenomena fatherless atau hilangnya peran ayah dalam pengasuhan anak kembali menjadi perhatian serius. Data Pemutakhiran Pendataan Keluarga 2025 (PK-25) mencatat 25,8 persen anak Indonesia tumbuh tanpa keterlibatan ayah yang memadai. Padahal mereka masih memiliki ayah secara biologis, namun fungsi ayah nyaris absen dalam kehidupan sehari-hari.

Kepala BKKBN RI, Dr. Wihaji, menegaskan kondisi ini berpotensi menggerus masa depan bangsa.

“Kalau tidak hati-hati, ini sangat berpengaruh terhadap psikologi dan masa depan anak,” tegasnya, Rabu (26/11/25).

Menurut Wihaji, setiap anak berhak merasakan kehadiran kasih sayang dari kedua orang tua, termasuk ayah yang berperan penting dalam membangun karakter, kepercayaan diri, hingga stabilitas emosi.

Data PK-25 menunjukkan satu dari empat keluarga yang memiliki anak di Indonesia terindikasi fatherless. Dampaknya panjang: mulai dari masalah emosi, kesulitan bersosialisasi, hingga hambatan dalam prestasi akademik.

Fenomena ini lebih tinggi di pedesaan (26,3 persen) dibandingkan wilayah perkotaan (25,4 persen). Banyak ayah di desa bekerja jauh merantau dan masih terjebak paradigma lama bahwa tugas ayah hanya mencari nafkah, bukan mengasuh.

Beberapa daerah mencatat angka mencolok:

  • Papua Pegunungan: 50,2%
  • Sumatra Utara: 30,4%
  • Sumatra Barat: 28,5%
  • Sulawesi Selatan: 28,1%
  • Jawa Barat: 23,0%
  • Bali: 15,1%

Sementara pendidikan ayah ternyata bukan penentu utama. Kepala keluarga berpendidikan rendah hingga tinggi tetap menunjukkan angka fatherless yang relatif tipis perbedaannya.

Yang paling kontras justru status pekerjaan:

  • Tidak bekerja: 63% fatherless
  • Bekerja: 24,1% fatherless

Hilangnya peran ekonomi ayah turut memicu hilangnya keterlibatan emosional di rumah.

Wihaji menegaskan bahwa temuan ini harus segera diterjemahkan menjadi langkah kebijakan konkret, bukan sekadar data yang mengendap dalam laporan.

“Keterlibatan ayah bukan hanya isu keluarga, tapi bagian dari strategi pembangunan manusia Indonesia,” tegasnya.

BKKBN mendorong pemerintah pusat dan daerah memperkuat edukasi pengasuhan ayah, menghadirkan lingkungan kerja yang ramah keluarga, dan meningkatkan layanan konseling keluarga hingga level desa.

“Anak Indonesia harus tumbuh dalam keluarga kuat dan penuh kasih sayang,” tutup Wihaji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *