PEKANBARU | Garda45.com – Ketimpangan mencolok antara besarnya aktivitas ekonomi daerah dan kecilnya kapasitas fiskal pemerintah kembali membuka borok pengelolaan keuangan daerah di Riau. Di satu sisi, roda ekonomi masyarakat berputar kuat. Di sisi lain, pemerintah daerah justru terseok-seok membiayai pembangunan dan pelayanan publik.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bappeda Provinsi Riau, Purnama Irwansyah, mengungkapkan bahwa kekuatan ekonomi masyarakat Riau sejatinya tidak lemah. Berdasarkan pemaparan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana masyarakat yang beredar di perbankan Riau mencapai sekitar Rp37 triliun.
Angka tersebut menjadi indikator kuatnya aktivitas usaha rakyat, mulai dari sektor perdagangan, perkebunan, hingga jasa. Namun ironisnya, kekuatan ekonomi itu nyaris tak memberi dampak signifikan bagi keuangan pemerintah daerah.
“LPS menyampaikan masih ada uang masyarakat di Riau sekitar Rp37 triliun. Itu potret usaha rakyat yang sebenarnya cukup kuat,” ujar Purnama, Sabtu (20/12/25).
Masalahnya, potensi ekonomi besar tersebut justru banyak mengalir ke luar daerah. Keuntungan, pajak, dan nilai tambah ekonomi Riau dinikmati oleh wilayah lain, sementara daerah penghasil hanya kebagian remah fiskal.
Ketimpangan ini kian terasa ketika melihat perbandingan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan kemampuan anggaran daerah. PDRB Riau tercatat mencapai Rp1.112 triliun, angka fantastis yang setara dengan sepertiga PDRB DKI Jakarta. Namun, total APBD Provinsi Riau hanya berkisar Rp8 triliun.
“PDRB Riau Rp1.112 triliun, tapi APBD yang dikelola cuma sekitar Rp8 triliunan. Ini jelas tidak sebanding,” tegas Purnama.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem distribusi penerimaan negara, terutama bagi daerah penghasil sumber daya alam. Dengan nilai ekonomi sebesar itu, seharusnya kabupaten dan kota di Riau tidak kesulitan membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga pelayanan publik dasar.
Namun realitas berkata lain. Banyak daerah masih bergantung pada dana transfer pusat dan harus melakukan efisiensi ekstrem hanya untuk menutup belanja rutin.
“Dengan PDRB sebesar itu, seharusnya bupati dan wali kota tidak pusing mengelola daerah. Pertanyaannya, ke mana pajak dari aktivitas ekonomi Rp1.112 triliun itu,” ujar Purnama.
Ia juga menyinggung tuntutan inovasi yang kerap dibebankan kepada pemerintah daerah. Menurutnya, dorongan inovasi tanpa dukungan anggaran yang memadai hanya akan menjadi jargon kosong.
“Saat ini daerah diminta berinovasi. Tapi kalau kebutuhan 100, sementara uang yang ada hanya 8, bagaimana inovasi bisa berjalan optimal,” katanya.











