PEKANBARU, Garda45.com — Budaya bukan hanya tentang tarian, pakaian adat, atau bahasa. Kuliner juga menjadi salah satu identitas penting dari suatu daerah, yang mencerminkan sejarah, selera, dan kearifan lokal masyarakatnya.
Dengan semangat pelestarian budaya tersebut, delapan mahasiswa dan mahasiswi dari Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) menggelar kegiatan sosialisasi bertajuk “Melestarikan Rasa, Menjaga Budaya: Air Mata Pengantin”, Senin, 23 Juni 2025, pukul 16.00–18.00 WIB, bertempat di area luar Stadion Utama Riau.
Kegiatan ini mengambil lokasi strategis yang ramai dikunjungi masyarakat saat sore hari. Area sekitar stadion dipilih karena merupakan ruang publik terbuka yang biasa digunakan oleh berbagai kalangan untuk berolahraga, seperti jogging, bersepeda, bermain bulu tangkis, bola voli, atau sekadar berjalan santai bersama keluarga.
Melihat tingginya aktivitas dan interaksi masyarakat di sana, tim sosialisasi menjadikannya sebagai titik utama untuk menyampaikan pesan budaya.
Para mahasiswa berdiri di tepi jalur jogging sambil membentangkan spanduk berisi pesan ajakan untuk mengenal minuman tradisional khas daerah, yaitu Air Mata Pengantin.
Mereka menyapa para pemuda-pemudi yang beristirahat dan secara aktif menghampiri warga lainnya untuk memperkenalkan minuman tersebut.
Tidak hanya mengenalkan secara lisan, mereka juga membawa serta contoh fisik minuman yang disajikan dalam gelas plastik dan dibagikan secara gratis kepada pengunjung yang bersedia mendengarkan.
Minuman Air Mata Pengantin berasal dari Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, dan memiliki tampilan yang menarik dengan warna cerah dari sirup merah, cincau hitam, dan biji selasih yang mengambang di antara es serut. Rasanya manis dan menyegarkan, sangat cocok untuk diminum saat cuaca panas.
Namun di balik kesegarannya, minuman ini juga menyimpan nilai budaya dan sejarah yang cukup dalam. Nama “Air Mata Pengantin” sendiri dipercaya mencerminkan perasaan haru-biru pada hari pernikahan, di mana kebahagiaan bercampur dengan harapan dan doa yang penuh haru.
Sayangnya, meskipun merupakan bagian dari kekayaan kuliner lokal, banyak pemuda-pemudi yang belum pernah mendengar atau mencicipi minuman ini. Hal ini terbukti saat tim sosialisasi membagikan minuman kepada sekitar 30 orang, dan sebagian besar dari mereka mengaku tidak mengetahui nama atau asal minuman tersebut.
Salah satu peserta mengatakan, “Saya baru tahu kalau ini adalah minuman Air Mata Pengantin.”
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh peserta lain yang mengaku, “Saya baru tahu kalau minuman ini berasal dari Indragiri Hulu.”
“Menurut penjelasan salah satu anggota tim sosialisasi, tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membangkitkan kembali kesadaran generasi muda tentang pentingnya mengenal dan melestarikan kuliner tradisional daerah mereka, “ujar peserta.
Selain menyampaikan informasi, mereka juga mengedepankan pendekatan interaktif dan ramah agar pesan dapat diterima dengan ringan namun membekas.
“Sosialisasi ini tidak hanya menjadi ajang edukasi, tetapi juga mempererat hubungan sosial antara mahasiswa dan masyarakat, “ucpanya.
Interaksi yang terjalin secara langsung mampu menciptakan suasana hangat dan bersahabat. Banyak warga yang mengapresiasi inisiatif tersebut dan berharap kegiatan serupa bisa terus berlanjut.
“Harapan ke depan, kegiatan ini bisa dikembangkan dalam skala yang lebih luas, seperti diselenggarakan di sekolah-sekolah, pusat kebudayaan, atau bekerja sama dengan dinas pariwisata dan kebudayaan, “harap.
Dengan begitu, Air Mata Pengantin tidak hanya dikenal di kalangan terbatas, tetapi dapat menjadi ikon minuman khas daerah yang membanggakan.
Tambahan kegiatan ini didokumentasikan melalui foto dan video yang menunjukkan antusiasme masyarakat dalam mencoba minuman dan mendengarkan penjelasan dari tim.
“Melalui kegiatan sederhana namun bermakna ini, mahasiswa Farmasi UMRI menunjukkan bahwa peran seorang akademisi tidak hanya terbatas pada ruang laboratorium atau kelas, tetapi juga dapat menjadi agen pelestari budaya di tengah masyarakat. Minuman Air Mata Pengantin bukan hanya soal rasa, tetapi soal identitas, “tambahan.
Dan mengenalkannya kembali kepada publik berarti membantu menjaga keberlangsungan warisan budaya daerah yang tak ternilai, tutup salah satu peserta.
Komentar