JAKARTA | Garda45.com – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, mendorong aksi nyata yang bersifat kolektif serta kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi krisis pembelajaran yang kian mengkhawatirkan. Ia menilai, tanpa komitmen serius dari pemerintah, pemangku kepentingan, masyarakat, dan sektor swasta, tantangan besar sektor pendidikan pada 2026 berpotensi gagal dijawab.
“Di tengah keterbatasan dana, kita dihadapkan pada kondisi kompetensi tenaga pengajar, kemampuan peserta didik, kesenjangan digital, serta isu kesejahteraan guru yang belum memadai. Semua itu menanti langkah segera dan terukur untuk diatasi,” kata Lestari dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (27/12/25).
Pernyataan tersebut menguat seiring rilis data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah terkait hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 jenjang SMA dan sederajat. Data menunjukkan kualitas capaian akademik peserta didik masih jauh dari harapan.
Nilai rerata tertinggi mata pelajaran wajib tercatat pada Antropologi dengan skor 70,43 dari skala maksimum 100. Sebaliknya, nilai Bahasa Inggris berada di posisi terendah dengan rerata hanya 24,93. Matematika juga mencatat hasil rendah, yakni 36,10.
Rendahnya capaian pada mata pelajaran fundamental tersebut dinilai sebagai indikator kuat terjadinya krisis pembelajaran yang sistemik. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan lemahnya penguasaan materi, tetapi juga memperlihatkan keterbatasan metode pembelajaran yang belum efektif menjawab kebutuhan siswa.
Selain persoalan akademik, Lestari menyoroti kesenjangan digital yang masih menjadi hambatan serius, khususnya antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, kepemilikan komputer atau laptop untuk keperluan belajar di wilayah perkotaan mencapai 65 persen. Namun di wilayah perdesaan, angkanya baru menyentuh 28 persen.
Kesenjangan ini berdampak langsung terhadap akses pembelajaran digital, terutama dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh maupun pemanfaatan sumber belajar berbasis teknologi. Ketimpangan akses tersebut dinilai memperlebar jurang kualitas pendidikan antarwilayah.
Di sisi lain, kualitas keterampilan guru dalam menjalankan pembelajaran, baik secara luring maupun daring, juga masih menghadapi berbagai keterbatasan. Adaptasi terhadap teknologi, penguasaan metode pembelajaran kontekstual, hingga kemampuan membangun interaksi belajar yang efektif dinilai belum merata.
Sebagai Anggota Komisi X DPR RI, Lestari menegaskan bahwa upaya pemulihan sektor pendidikan harus diarahkan pada percepatan peningkatan kualitas pembelajaran dengan fokus utama pada penguatan literasi, numerasi, dan pembentukan karakter peserta didik.
“Dukungan penuh bagi sekolah sangat dibutuhkan untuk merealisasikan langkah-langkah tersebut. Sekolah tidak bisa berjalan sendiri menghadapi kompleksitas tantangan yang ada,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa peningkatan kompetensi tenaga pengajar harus menjadi prioritas utama. Menurutnya, pelatihan guru perlu dirancang secara praktis, kontekstual, dan berbasis kebutuhan nyata di ruang kelas, bukan sekadar formalitas program.
Lebih jauh, Lestari berpandangan bahwa penyelamatan pendidikan nasional membutuhkan dukungan lintas sektor. Peran dunia usaha dan industri dinilai penting, khususnya dalam mendukung penguatan sarana prasarana, pengembangan teknologi pembelajaran, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia pendidikan.
Ia mengingatkan, apabila krisis pembelajaran tidak segera ditangani secara serius, dampaknya akan bersifat jangka panjang. Penurunan kualitas sumber daya manusia berpotensi melemahkan daya saing bangsa di tingkat regional maupun global.
“Kita tidak bisa menunda lagi. Krisis pembelajaran adalah ancaman nyata bagi masa depan Indonesia,” tegasnya.











